Suster OSF Sibolga

Para Pionir OSF Sibolga

Sekilas Sejarah OSF Reute - Sibolga

Kisah Awal dari Oberland Schwaben Setelah beberapa dekade kekacauan politik di Jerman, sebagai akibat Revolusi Perancis 1789 yang melanda hampir seluruh Eropa, mengimpit perkembangan iman Gereja Katolik, Pemerintah melarang serta menutup biara-biara yang pada zaman sebelumnya berkembang subur. Tidak seorang pun mengetahui kapan kekacauan politik itu akan berakhir.


Para Suster Pionir OSF Sibolga, dari kiri:
Sr. Nortburga, Sr. Bentivolia, Sr. Fransiska,
Sr. Toma dan Sr. Erminolda

Pada masa Revolusi di Jerman 1848, Allah yang berbelaskasih berkenan menabur benih panggilan dalam diri lima wanita muda bersahaja yang tidak terpelajar untuk melayani Allah dalam diri orang yang menderita. Mereka berasal dari daerah Ehingen - Jerman Selatan, kota yang terletak di pinggir Sungai Donau. Pada awalnya mereka tidak bermaksud membuka biara, melainkan merawat orang-orang sakit yang miskin dan telantar dengan tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing.

Lama kelamaan muncul keinginan untuk membentuk suatu persaudaraan. Setelah merawat orang sakit di kota tanpa imbalan, mereka memperoleh kediaman bersama yang sangat sederhana. Para Pendiri telah mengenal dan mencintai St.Fransiskus lewat biara OFM di kota Ehingen yang telah ditutup beberapa tahun sebelumnya. Gedungnya sedang dipakai sebagai rumah sakit, di sampingnya ada sebuah gereja ziarah Bunda Maria.

Walaupun Bapa Uskup mengusulkan agar para saudari memilih semangat St.Vinsensius, mereka tetap tertarik dengan semangat St.Fransiskus dan menerapkan Anggaran Dasar Ordo III Regular. Pada tanggal 13 Desember 1854 diadakan penjubahan lima suster pertama di gereja St.Maria Ehingen. Dalam arsip Keuskupan Rottenburg ditemukan kesaksian sbb: „Hati para Suster yang berbelaskasih terpenuhi oleh semangat Fransiskus yang mereka junjung tinggi. Ketaatan mereka tulus, mutlak dan penuh sukacita. Cinta mereka kepada kemiskinan dapat diteladani. Mereka puas dengan makanan dan pakaian yang sederhana dan itu dibuktikan dengan penampilan yang riang gembira ....

Dengan cinta dan perhatian penuh kerelaan untuk berkorban, mereka merawat orang sakit di rumah-rumah“. Pelayanan para Suster tertuju pada perawatan orang-orang sakit, lansia dan cacat, serta pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Jumlah anggota persaudaraan semakin pesat.

Pada thn. 1875 jumlah para suster sudah mencapai 125 orang dalam 22 komunitas, maka berbagai jalan ditempuh untuk mendapatkan sebuah gedung baru sebagai rumah induk. Melalui percobaan dan pengalaman pahit mencari lokasi rumah induk di berbagai kota, para suster diantar oleh Allah ke Reute, tempat ziarah makam Beata Elisabeth, seorang biarawati fransiskan yang sangat sederhana. Gedung yang selama 100 tahun ditinggalkan, dijadikan biara induk.


Beata Elisabeth
Kasih Beata Elisabeth kepada Kristus menyemangati para Suster sampai sekarang.

Mengepak Sayap ke Bumi Indonesia
Pada Konsili Vatikan II tahun 1960 para Uskup menghimbau agar biarawan/i dari Eropa lebih melibatkan diri pada karya misi, supaya cinta kasih Kristus lebih dikenal.

Pimpinan Umum Biara OSF Reute di Jerman Sr. Magdalena Kiem dan Bapak Superior Ludwig Jung, sangat antusias mendengar himbauan itu, dan bersedia untuk menanggapinya dengan senang hati. Usai Konsili Vatikan II Uskup Gratian Grimm, yang pada saat itu menjabat sebagai Adminitrator Prefektur Apostolik Sibolga singgah di Reute, dan pada kesempatan ini Pimpinan Umum berunding dengan beliau yang dengan gembira menyambut rencana itu, khususnya beliau minta tenaga untuk menolong umat dalam bidang kesehatan dan pendidikan non formal. Pada tgl. 25 Agustus 1964, lima orang suster yaitu Sr. Bentivolia Karcher , Sr. Notburga Fürst , Sr. Thoma Albrecht , Sr. Franziska Förch dan Sr. Erminolda Zoller diutus ke Prefektur Sibolga, dan mereka berangkat dengan kapal laut dari Amsterdam, ditemani oleh P. Norbert Kurzen, Provinsial OFM Cap. Prefektur Sibolga.

 Pada tgl. 7 Oktober 1964 rombongan tiba di Belawan, dijemput oleh suster FCJM dari Tebing dan P. Bruno Arndt OFM Cap. Kemudian para suster mempersiapkan diri untuk mengenal kebudayaan, bidang pelayanan dan bahasa. Untuk itu mereka mulai berpisah, dua suster tinggal di Tebing Tinggi dan tiga suster lain mulai di Pakkat, selama beberapa waktu. Setelah itu mereka meneruskan masa persiapan di Biara KSSY di Medan. Terima kasih kepada Tarekat FCJM dan KSSY atas persahabatan sejak awal ini. Bulan Januari 1965 Mgr. Grimm kembali dari Vatikan ke-II. Bersama beliau para suster memilih Padangsidimpuan sebagai tempat biara mereka. Bulan Agustus 1965 para suster bersatu kembali dan membuka karya di Padangsidimpuan, pertama-tama Poliklinik dan TK. Saat itu P. Leonhard Beikirche OFM Cap melayani wilayah Tapanuli Selatan yang pada bulan yang sama diresmikan menjadi paroki Padangsidimpuan.

Pada tahun-tahun berikut biara dan gereja dibangun. Agustus 1970 Sr. Theresia Winter tiba di Indonesia dan mulai mempersiapkan program pembinaan bagi suster-suster indonesia yang kemungkinan tertarik menjadi suster OSF. Pebruari 1972 pembukaan komunitas di Pangaribuan, dimulai dengan perawatan orang sakit . April 1972, dua suster diutus lagi dari Jerman untuk ikut berkarya di sana: Sr. Vita Schmid dan Sr. Herma. Oktober 1972, dalam rapat bersama Administrator Willing dan Pater Leonhard Beikirche OFM Cap diambil kebijakan mulai menerima calon dan menggabungkan diri dengan para postulan Kongregasi FCJM di Balige. Hal ini diteguhkan dengan satu kontrak antara kedua Tarekat. Setelah dijalankan ternyata tak mendukung, sehingga diralat dan dimulai pembinaan Postulat di Padangsidimpuan. Oktober 1975, Sr. Mikaela dan Sr. Ingeborg datang sebagai missionaris dan mereka membuka komunitas Idano Gawo pada bulan April 1976. Oktober 1976, pertemuan dengan pimpinan umum yang mengambil kebijakan untuk mendirikan Regio menjadi Kapitel Regio I.

Saat itu Sr. Fransiska dipilih sebagai pimpinan. Sejak itu diadakan Kapitel Regio dengan periode tiga tahun. Pada saat itu Sr. Theresia menjadi pemimpin novis dan diputuskan untuk memulai Novisiat OSF di Padangsidimpuan, walaupun para Postulan saat itu masih dalam pembinaan di Balige. Bulan Desember 1976, Penjubahan pertama di Padangsidimpuan. Desember 1978, suster indoneisa yang pertama mengikrarkan kaulnya. Setelah itu hampir setiap tahun ada penerimaan calon dalam jenjang-jenjang hidup membiara, walaupun dalam perjalanan waktu banyak saudari menempuh jalan lain. September 1979, ada kebijakan pemerintah bahwa tidak ada lagi pembaharuan visa baru bagi para misionaris.

Keputusan ini menjadi kejutan bagi Suster Muda dan Para Novis, karena dianggap akan membawa pembubaran biara kita. Ternyata ada usaha dari KWI karena banyak Tarekat yang terkena.
Dalam perundingan KWI dengan pemerintah Indonesia disepakati jalan keluar, yaitu setiap missionaris mengajukan permohonan menjadi WNI. Dengan demikian mereka diijinkan untuk tinggal seterusnya, visa baru untuk para missionaris tidak diberi lagi, namun masih sempat 2 suster diutus dari Jerman, Sr. Barbara Winter dan Sr. Colette Safferling ke keuskupan Sibolga. Tgl. 6 Januari 1981 di Roma diadakan pentahbisan P. Anicetus Sinaga menjadi Uskup. Dengan demikian Prefektur Sibolga diangkat menjadi keuskupan. Sebagai Tarekat Diosesan sejak awal terjalin hubungan yang baik dengan pihak keuskupan.

Desember 1985, suster pertama berkaul kekal. September 1987, Novisiat dipindahkan dari Padangsidimpuan ke Pangaribuan. Agustus 1990, Komunitas Pandan dimulai, yang kemudian di susul dengan pembukaan Asrama Putri dan TK. Desember 1991, Regionalat pindah ke Sibolga di Biara Elisabeth. Dengan semakin bertambah anggota, persaudaraan merentangkan sayap-sayapnya khususnya di keuskupan Sibolga, juga di Pematangsiantar dan untuk para suster yang studi di Yogyakarta. Pada tahun 1999 Sr. Agnes Manullang dan Sr. Anastasia Simbolon diutus ke Brasil untuk ikut serta dalam karya misi tarekat di Brasil, bagian timur laut. Februari 2004 di mulai berkarya di Flores Keuskupan Ende. Juni 2006 dibuka komunitas study dan rumah transit di TASBI Medan. 4 Oktober 2007 tepat pada pesta Bapa St. Fransiskus, rumah induk San Damiano di berkati oleh Uskup Ludovikus Simanullang, dengan demikian Regionalat pindah ke Pandan. Juni 2008 komunitas Postulat yang selama ini bergabung dengan komunitas Novisiat di Pangaribuan pindah ke Pandan.

April 2011 komunitas baru dimulai di Mataloko Flores Keuskupan Ende. Mei 2012 setelah 48 tahun memberi diri dalam memulai dan menumbuhkan tunas konggregsi di Indonesia, Sr. Erminolda memutuskan kembali ke Jerman karena alasan kaki yang kurang sehat dan usia yang semakin tua. Akhir-akhir ini pendampingan dari Dewan Pemimpin Umum semakin intensif, meskipun jumlah para suster dari Jerman semakin berkurang. Tiga suster diantara para perintis telah mendahului kita yaitu: Sr. Bentivolia, Sr. Notburga dan Sr. Franziska. Persaudaraan OSF sekarang 96 Suster, 12 Novis I , 5 Novis II serta 6 Orang Postulan. Terima kasih kepada pimpinan umum dan para missionaris yang telah meletakkan dasar tarekat di bumi Indonesia. 50 Tahun sejak waktu menabur, kini saatnya memelihara tanaman agar tetap tumbuh subur dan berbuah. Inilah perkembangan yang dapat digambarkan sesuai dengan peristiwa-peristiwa. pengalaman akan Tuhan mewarnai seluruh perjuangan persaudaraan.

Disinipun berlaku yang dikatakan pendiri tarekat ini Sr. Margaretha Bloching: „Bahtera tempat Yesus berada tidak akan tenggelam“.

***


Profil Misionaris
ParaSuster Pionir OSF Sibolga

1. Sr. Bentivolia Kärcher

Lahir tgl. 10 Mei 1924 di Stuttgart - Jerman. Tahun 1949 masuk biara di Persaudaraan Fransiskan Reute. Sr. Bentivolia adalah seorang perawat bayi. Bersama dengan keempat missionaris lain,  Sr. Fransiska Förch, Sr. Notburga Fũrst,  Sr. Erminolda Zoller dan Sr. Thoma Albrecht, ia dipilih dan bersedia diutus ke Indonesia pada tahun 1964. Sebagai misionaris pertama ia mulai membuka karya misi, pertama-tama di Padangsidimpuan. Keramahannya memungkinkan dia memiliki banyak relasi, sehingga pergaulannya cukup luas. Bersama dengan Sr.Theresia ia meninggalkan karya di Padangsidimpuan  dan membuka komunitas dan Poliklinik di Pangaribuan pada bulan Februari 1972 dan berkarya di sana sampai tahun 1985.

Pada tahun 1986 ia pindah dan bekerja di rumah anak di Idanö Gawo, karena hanya Sr.Bentivolia yang mempunyai keahlian sebagai perawat anak, sementara di sana seringkali diterima lebih 20 bayi yang harus dirawat. Sampai akhir hidupnya dia berkarya di sini sebagai ibu untuk anak-anak yatim piatu.  Sr Bentivolia meninggal tgl  5 Februari 1994 di Pangaribuan.


2.  Sr. Notburga Fũrst

Lahir tgl 22 Mei 1925 di Huttlingen Sulzdorf - Jerman. Masuk Biara Tgl 1 September 1947. Suster Notburga, adalah salah seorang tokoh di antara lima missionaris pertama. Sebagai perawat, ia berjasa dalam mengelola Poliklinik selama 27 tahun di Padangsidimpuan. Setelah  Sr. Bentivolia memulai karya di Pangaribuan tahun 1972, Sr. Notburga menjadi Ibu rumah di Padangsidimpuan, dan pada Kapitel Regio ke II tahun 1979 ia dipilih sebagai pengganti Sr. Fransiska dan menjadi Pemimpin Regio ke II selama dua Periode, sampai tahun 1985. Sebelum pemilihannya yang kedua ia menjalani operasi kanker payudara di Pematang siantar, tanpa diketahui orang dan dengan tabah ia menanggungnya.

Ia memiliki kepribadian yang kuat dan kerohanian yang dalam dan dengan segala usaha ia menyesuaikan diri dan ikut serta mendampingi para saudari yang muda, terutama dalam hidup rohani. Dengan berat, tetapi rela hati ia tinggalkan Padangsidimpuan dan menjadi pemimpin rumah di Pandan (thn.1991) dan di Pangaribuan, dan terakhir ia membuka Poliklinik St. Mikael di Sibolga, (thn.1995 s/d 1997).

Kurbannya yang paling berat rasanya dituntut Tuhan untuk menjadi WNI pada thn 1994.

Pada bulan Mei 1997 ia mengeluh sakit kepala dan minta pulang ke Jerman. Ternyata kanker otak telah menjalar, tetapi dengan tabah ia menjalani operasinya dan Tuhan masih menganugerahkan kepadanya, apa yang ia rindukan, yaitu menikmati hari-hari bahagia di tengah-tengah keluarganya. Sr. Nortburga sungguh orang beriman. Segala penderitaannya, ia mampu menyatukan dengan penderitaan Kristus. Tidak lama setelah Sr. Barbara dengan 4 suster dari indonesia datang untuk mengikuti kapitel umum, dia meninggal dunia pada Tgl 5 Mei 1998 di Reute Jerman. Sr. Nortburga adalah seorang penggembira, disiplin, tegas dan memiki hati yang lembut dan seorang suster yang istimewa, dengan kemampuan dan kebijaksanaannya dia menolong banyak pasien dan orang miskin

3.  Suster Fransiska Förch

Lahir  tgl. 26 Maret 1929, di Oedheim Jerman. Tanggal 1 September 1951 Sr. Fransiska  masuk Biara Suster Fransiskanes dari Reute – Jerman. Sejak profes pertama sampai tahun 1964 dengan penuh dedikasi ia melayani anak-anak di salah satu lembaga Caritas di Jerman. Pada bulan Mei 1964 ia kembali ke Rumah Induk - Reute untuk mempersiapkan diri menerima tugas perutusan ke Indonesia. Dari tahun 1965-1967 Sr. Franziska bekerja di komunitas Padangsidimpuan, mengurus rumah tangga/dapur dan memberi kursus memasak untuk gadis-gadis. Sr. Fransiska juga ikut memulai karya di Tetehӧsi Pulau Nias, dimana ia bertugas selama 10 tahun (1976-1986) mengurus rumah tangga dan dapur Susteran. Dari tahun 1976 -1979 Sr. Fransiska menjabat sebagai Pemimpin Regio Pertama untuk Regio OSF Sibolga. Tahun 1986-1992 Sr. Fransiska bertugas di komunitas Pangaribuan dan tahun 1992-1995 ia kembali ke komunitas Padangsidimpuan. Pada tahun 1997 selama enam bulan ia menjadi Penanggungjawab di Panti Asuhan Kinderdorf Hiliweto Gidö menggantikan Sr. Ingeborg Meroth  yang sedang cuti ke Jerman. Dan akhir tahun 1997, ia dipindahkan kembali ke Pangaribuan dan tinggal disana sampai menghembuskan nafas terakhir tgl 15 Maret 2002.

Selama di Indonesia, Sr. Fransiska mengemban tugas di rumah tangga dan dapur. Tugas ini ia laksanakan dengan tekun dan setia. Baginya tugas di dapur adalah tugas kehormatan, karena ia yakin bahwa dengan melayani sesama ia juga melayani Tuhan. Ia sering berkata “Cinta kepada Tuhan harus nampak dalam cinta kepada sesama lewat pelayanan setiap hari”. Wajahnya tetap berseri, meski bermandikan keringat. Ia tidak banyak bicara, tetapi banyak berbuat. Ia menghayati hidup sederhana dan penuh kegembiraan mengikuti Kristus dalam suka dan duka serta menghayati suatu relasi dengan Allah penuh iman yang dalam. Hidupnya diwarnai dari usaha mengenal kehendak Allah. Ia pernah berkata : “Dalam situasi yang sulit saya belajar bahwa saya tidak dapat berjuang sendiri tetapi pergi kepada Allah, dan pada jalan itu saya memperoleh titik terang”.

4. Sr. Thoma Albrecht 


Lahir pada tgl 7 Januari 1931 di Tubingen Jerman, masuk Biara tgl 1 Sep 1947. Sr. Thoma adalah seorang guru TK yang sangat menyukai musik dan nyanyian. Salah satu lagu kesayangannya yang selalu dinyanyikannya dengan gerak adalah : “Saya pemain Musik “. Selama berpuluh tahun dia mengajar di TK di mulai tahun  1965 -1984 di Padangsidimpuan, kemudian di  Tumbajae (Januari 1985- Juni 1991), dan di Pulau Tello (1991-1995). Karena usia yang sudah tidak memungkinkan lagi menjadi Guru TK, dengan senang hati Sr. Thoma selama 15 Tahun bersama Sr. Erminolda bekerja di Ruper Laverna Gunung Sitoli, membersihkan dan menyiapkan kamar-kamar tidur untuk para peserta. September 2010 Sr. Thoma pindah ke komunitas Pangaribuan.

Pada umur 83 Tahun Sr. Thoma tetap lincah, sehat dan masih terus ingin menolong dan bekerja. Penuh kerelaan dan kegembiraan,  dia memperbaiki dan menjahit jubah para suster yang robek.

Sr. Thoma adalah seorang pendoa yang setia, semangatnya tetap membara untuk berdoa dan berkarya. Sepanjang hari dia menikmati hari-harinya dengan membantu disana sini sejauh dibutuhkan tenaganya untuk melakukan sesuatu. Suster Thoma seorang pribadi yang sangat dekat dengan Tuhan. Kedekatannya dengan Tuhan dapat dilihat lewat ketekunannya untuk berdoa jalan salib dan doa rosario setiap hari. Baginya relasi dengan Tuhan adalah hal yang penting dan utama. Karena lewat relasi itu dia melayani sesama dengan penuh cinta .


5. Sr. Erminolda


Lahir pada tgl 22 Mei 1927 di Ebnat Jerman. Masuk Biara tgl 1 September 1950. Sebelum di utus ke Indonesia Sr. Erminolda bekerja di Laupheim sebagai Guru TK.  Bersama Sr. Thoma, dia memulai TK di Padang Sidimpuan  (1965 – 1972) , kemudian selama 12 tahun (Januari 1972 – Desember 1985) Sr. Erminolda menjadi Pemimpin Asrama Putri St. Anna sekaligus Penanggung Jawab kursus menjahit di Padang Sidimpuan. Dari thn 1986 - Juli 1989 menjadi Pemimpin komunitas Padang Sidimpuan.  Pada Juli 1989 Sr. Erminolda pindah ke RUPER Gunung Sitoli Nias bekerja di dapur Rumah Pembinaan Laverna selama 18 tahun.

Pada umur 81 Tahun Sr. Erminolda pensiun. Tgl. 8 Januari 2008, ia  kembali ke Padang Sidimpuan, tempat dimana hampir seperempat hidupnya (24 tahun) melayani di sana. Namun bukan Sr. Erminolda namanya kalau hanya duduk berpangku tangan tanpa berbuat sesuatu, meskipun umur sudah 81 tahun, dengan senang hati beliau mengajari anak-anak asrama putri dan para suster membreyen, hasil karya mereka seperti : jaket, topi, kaus kaki, dll, cukup membanggakan hati.

Sr. Erminolda seorang pribadi yang gembira, sikapnya yang ramah menjadikan dia mudah akrab dengan siapa saja. Dia tidak keberatan, sesudah merayakan ulang tahun ke 80, di panggil dengan sebutan “Oma”. Ya... saya memang sudah oma, demikian dia menjawab dengan tawanya yang khas.

Pemberian dirinya lewat pelayanan di Asrama Putri, memasak di dapur, menjadi pendamping anak-anak PKK dan mengajari anak-anak Asrama membreyen, menjadikan dia selalu diingat dan dikenang. Hal menarik bahwa persahabatannya dengan Kapten Kapal yang membawa mereka ke Indonesia tahun 1964, masih berlanjut sampai sekarang dan dengan teratur Sang Kapten mengujungi Oma tercinta ini di biara Induk di Reute.

Sejak  April 2012 Sr. Erminolda mengambil keputusan untuk kembali ke Jerman , karena  kesehatan fisiknya semakin menurun.

Para suster Misionaris yang Pernah berkarya di Indonesia.

1. Sr. Theresia Winter


Dilahirkan pada 7 Oktober 1937 di Hũttlingen Jerman; Berkarya sebagai Pendamping Novis dan Postulan. Tiba di Indonesia pada  22 Agustus 1970 – Mei 2002;  Pernah mengemban Tugas: Pemimpin Postulan dan Novis ( 1976 – 1993),  dan Pemimpin Komunitas dan kembali ke Jerman  pada Mei 2002.













2. Sr. Vita Schmid (+)

Lahir: 18 Oktober 1933 di Gauingen Jerman
Pekerjaan: Perawat Bidan
Di Indonesia: 5 April 1972 – 5 Mei 2009
Tugas: Poliklinik dan Klinik Bersalin (Pangaribuan, Tumbajae, Sibolga & Tetehosi)
Kembali ke Jerman:  5 Mei  2009
Meninggal: 11 Agustus 2013 di Reute - Jerman.








3. Sr. Ingeborg  Meroth  (76 Tahun)


Lahir: 12 April 1944 di Wangen  Jerman
Pekerjaaan: Guru SMP dan Pembantu Perawat
Di Indonesia: 9 Oktober 1975- sekarang

Tugas   : Pemimpin Komunitas, Rumah Anak dan Poliklinik di Tetehӧsi Nias ( 1976-1994). Penanggung Jawab Panti Asuhan Kinderdorf Gido ( Juli 1994 – 1997), Penanggung jawab PKK, Poliklinik, di Tello (Mei 1997 – sekarang)











4. Sr. Barbara Winter


Lahir di: 1 September 1951 di Ellwangen Jerman
Di Indonesia: 9 November 1983 – 5 Mei 2009
Tugas: Pemimpin Junior (1984-1985), Pemimpin Regio (1985-1998),    Vikaris Regio (1998-2001), Dewan Pimpinan Regio (2001-2004), Penanggung Jawab Kinderdorf (2001-2005), Pemimpin Novis (Juni 2005-2 Mei 2009)

Kembali ke Jerman: 5 Mei 2009 karena terpilih menjadi Anggota Dewan Pimpinan  umum.   











5. Sr. Colette Saferlling

Lahir :  24 Oktober 1950 di Neckar Odenwald Jerman
Pekerjaan :  Perawat, Bidan
Di Indonesia:  Sejak 11 Februari 1983 - Sekarang

Tugas   : Penanggung Jawab Poliklinik dan Klinik Bersalin di Tetehosi Nias ( 1983- 1988), Pemimpin Komunitas dan Penanggung Jawab Poliklinik dan Rumah Bersalin  di Pangaribuan (Nov. 1988 -  Maret 2007 ). Penanggung Jawab Poliklinik dan Klinik Bersalin di Tumbajae ( 7 Maret 2007 – 2016 ) dan akan kembali ke Jerman bulan Agustus 2017


6. Sr. Hildegard Knapp


Lahir: 22 Oktober 1958 di Wendlingen Jerman
Pekerjaan: Perawat Anak
Di Indonesia: Sejak tahun 2005 dan akan kembali ke Jerman Agustus 2017

Tugas: Rumah Anak Kinderdorf St. Antonio Gidö
Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © 2017-2024. Suster OSF Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger | Posting