Beata Elisabeth Yang Baik Dari Reute
Pelindung Konggregasi OSF Reute Sibolga
Beata Elisabeth lahir pada tanggal 25 November 1386, di kota Waldsee - Jerman Selatan yang sangat indah. Ayahnya, Yohannes Achler adalah seorang ahli penenun kain. Ibunya, Anna mengambil alih tugas pembinaan rohani anak-anaknya di dalam keluarga dengan penuh tanggung jawab. Namun rasa aman dan terlindung dalam keluarganya sangat bertolak belakang dengan konflik-konflik politik dan gerejawi pada masa itu.
Terjadi kerusuhan-kerusuhan di kota Waldsee sebagai akibat dari dicabutnya hak dan otonomi kota pada tahun 1313. Pencabutan itu diduga karena kekurangan uang, sementara hak itu baru dibeli oleh warganya pada tahun 1298. Akibatnya kota Waldsee digadaikan kepada para bangsawan dari Waldburg. Karena itu kesejahteraan, hak-hak istimewa dan kebebasan ekonomi para warga kota itu terancam.
Pada tahun-tahun awal hidupnya, Elisabeth hampir tidak tersentuh oleh kerusuhan dan kekacauan ini. Namun dengan matanya yang peka, ia memperhatikan jumlah orang sakit dan miskin di pinggir kota dalam keadan yang sangat menyedihkan. Selain kerusuhan yang ada di kota Waldsee, juga seluruh Eropa tergoncang oleh perang kekuasan di dalam gereja. Saat itu ada dua orang paus yang terpilih sekaligus, yaitu Paus Urbanus VI di Roma–Italia dan Klemens VII di Avignon Perancis.
Untuk mengatasi perpecahan ini dipilih lagi seorang Paus di Pisa Italia. Kedua Paus sebelumnya tidak mundur, akhirnya serentak ada tiga Paus. Perpecahan ini sangat menyakitkan karena memisahkan semua negara dan bangsa di Eropa termasuk juga keuskupan-keuskupan, biara-biara dan paroki-paroki. Jabatan-jabatan gerejawi direbut oleh berbagai pihak, sehingga seringkali ada dua pejabat dalam satu jabatan. Perpecahan Gereja baru dapat dihentikan melalui pemilihan seorang Paus baru yang diakui oleh semua pihak.
Tiga tahun sebelum Elisabeth wafat, yakni sebelum pemilihan paus itu, Elisabeth meramalkan: “Pada pesta Santo Martinus kita akan mempunyai satu pemimpin di dalam Gereja”. Ramalannya itu ternyata
benar. Tepat pada pesta Santo Martinus tahun 1417 terpilih seorang Paus baru yaitu Paus Martin ke V.
Sebuah Harta Yang Bernilai
Ada satu orang yang lebih berperan dalam hidup Elisabeth sejak masa kecilnya, yaitu Konrad Kűgelin (1367-1428), seorang imam anggota Ordo Santo Agustinus di Paroki St. Petrus Waldsee. Ia melihat dan merasakan lebih dari orang lain, bahwa dalam diri anak yang suci murni ini ada kecerdasan spiritual yang mau dipikat oleh Allah. Dia mendampingi Elisabeth sampai akhir hidupnya sebagai pendamping rohani dan Bapa Pengakuan. Disamping karya pastoral di Paroki, Kondrad Kűgelin bersemangat mendampingi para anggota ordo ketiga Santo Fransiskus yang tersebar di kota Waldsee.
“Datang dan mengikuti”, menjadi jalan Elisabeth. Pada umur 14 tahun, Elisabeth sudah menjadi anggota ordo ke III Santo Fransiskus. Setelah menerima jubahnya dalam Gereja St. Petrus di Waldsee, Elisabeth hidup selama 1 tahun sebagai anggota ordo III Santo Fransiskus secara sederhana dalam rumah orang tuanya. Di dalam hatinya mulai berkembang sabda yang telah didengarkan Elisabeth dari Anggaran Dasar Ordo Santo Fransiskus: “Sekarang, setelah kita meninggalkan dunia ini, kita wajib mengikuti kehendak Tuhan dan hidup berkenan di hadapanNya”.
Elisabeth adalah seorang gadis berparas cantik, ramah dan sangat muda. Dengan keistimewaan yang dimilikinya itu sebenarnya sangat gampang bagi Elisabeth untuk memilih kehidupan yang didambakan oleh para gadis pada umumnya, yakni mempunyai seorang suami, anak-anak dan keluarga. Demikian gambaran ayahnya yang ingin menikahkan Elisabeth dengan orang yang berkenan padanya. Namun Elisabeth setia pada keputusannya.
Dengan bantuan Konrad Kűgelin, pada umur 15 tahun ia diam-diam meninggalkan rumah orang tuanya. Dapat dibayangkan betapa mendalam penderitaan Elisabeth ketika ibu dan ayahnya tercinta sangat tidak memahami jalan yang ia pilih dan akhirnya hubungan dengan mereka menjadi putus. Meskipun begitu menyakitkan, namun langkah ini harus ditempuhnya dengan hati teguh. Inilah langkah transisi dari masa kecil menuju kedewasaan. Dimanapun, bila tidak ada ketegasan untuk melepaskan diri dari orang tua, hampir tidak mungkin membangun konsep hidup pribadi yang dewasa.
Setelah pertentangan dengan orang tuanya, Kűgelin membawa Elisabeth kepada seorang wanita lanjut usia yang hidup sendirian, anggota Ordo III St. Fransiskus. Suasana tenang ini memberikan peluang bagi Elisabeth untuk menemukan dan mengikuti panggilanNya. Mulailah apa yang kemudian menjadi poros hidupnya, yakni merenungkan sengsara Yesus dan ikut ambil bagian di dalamnya. Di dalam rumah wanita itu, mereka hidup miskin, tempat tinggal mereka sempit dan pekerjaan menenun yang sudah dipelajari sebelumnya oleh Elisabeth dari keluarganya tidak menghasilkan rejeki secukupnya. Karena itu mereka menderita kelaparan.
+ comments + 1 comments
Beata Elisabeth, doakanlah kami.
Posting Komentar