Suster OSF Sibolga

Membangun Hidup Berkomunitgas Sebagai Komunio

Membangun Hidup Berkomunitas

Sebagai Komunio


Foto Pendiri Suster Fransiskanes Reute - Sibolga
Paus Yohanes Paulus II menyebutkan, “Segala keberhasilan hidup religius tergantung dari mutu hidup komunitas” (lih. Pelayanan Wewenang dan Ketaatan art. 22).

Paus Fransiskus dalam rangka Tahun Hidup Bakti menegaskan, “Kaum religius, pria dan wanita, telah dipanggil menjadi ‘pakar dalam kasih persaudaraan’. Paus Fransiskus mengharapkan agar spiritualitas kasih persaudaraan dapat menjadi nyata sehingga kaum religius sanggup berada di garis depan dalam menanggapi tantangan besar yang menghadang di milenium baru, menjadikan Gereja sebagai rumah dan sekolah kasih persaudaraan” (lih. Sukacita Dalam Panggilan)

Dengan pernyataan tersebut di atas, hendak disampaikan pesan kepada kita bahwa betapa pentingnya membangun kesatuan dan persaudaraan melalui kehidupan bersama di komunitas. Lalu, komunitas macam apa yang hendak kita pejuangkan?

Martin Conti OFM dalam buku Identitas Fransiskan-Usulan Anggaran Dasar Ordo Ketiga Regular, pasal IV Hidup Persaudaraan menegaskan bahwa, “Dalam Kitab Suci ide tentang keluarga, yang lebih menyingkapkan kebapaan universal Allah (Mat 23:8-9) diungkapkan dengan istilah persekutuan, komunio, Gereja. Orang-orang yang mendengarkan sabda Allah dan mempraktekkannya, menjadi bagian dari kelurga rohani Kristus. Mereka disebut olehNya sebagai ibu, saudara dan saudari (Mat 12:46-50; Mrk 3:31-35); Luk 8:19-21)”. Komunio yang sempurna diungkapkan oleh Yesus, “ ...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau; agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka satu, sama seperti kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu... (Yoh. 17: 21 -23)

Komunitas tanpa komunio bukanlah komunitas yang sejati. Johanes Paulus II dalam surat apostolisnya, Novo Mellennio Ineunte no 43 menyebutkan empat aspek bertalian dengan spiritualitas komunio yakni:
1.  Spiritualitas Komunio di atas segalanya menunjuk pada: Kontemplasi cinta dari misteri Allah Tritunggal yang tinggal dalam diri kita dan cahayaNya seharusnya dapat kita lihat pada wajah dari saudari/ sudara sekitar kita.

2.  Spiritualitas Komunio juga berarti: Kemampuan untuk menerima saudari/ saudara dalam iman, dalam kesatuan dengan Tubuh Mistik dan karenanya menerima anggota komunitas sebagai bagian dari hidupku. Dengan demikian memampukan kita untuk berbagi kebahagiaan dan  penderitaan, merasakan kerinduan-kerinduan, dan memperhatikan kebutu-han-kebutuhannya serta menawarkan pada mereka persahabatan yang dalam dan sejati.

3.  Spiritualitas Komunio termasuk: Kemampuan untuk melihat hal positif pada sesama, menyambutnya, dan menghargainya sebagai kurnia Allah sendiri. Tidak hanya kurnia bagi saudari/ saudara yang bersangkutan, tetapi juga “kurnia bagiku”.

4.  Akhirnya, Spiritualitas Komunio berarti: Mengetahui bagaimana “memberi ruang” bagi saudari/ saudara, saling menanggung beban anggota (bdk. Gal. 6:2) dan menolak cobaan-cobaan keegoisan yang selalu menyertai kita dan terpancing untuk bersaing, gila jabatan atau kedudukan, tidak percaya diri serta iri hati.

Hanya mereka yang berkepribadian dapat turut membangun suatu komunitas yang sesuai impianNya, dimana setiap anggota semakin tumbuh menjadi pribadi yang dewasa. Dengan demikian hidup berkomunitas bukan sekedar hidup bersama di suatu tempat atau sama-sama hidup, melainkan suatu penghayatan bersama, buah dari iman pribadi masing-masing anggota. Oleh karena itu kalau kita hendak memperbaiki hidup berkomunitas dan menciptakan komunitas yang bahagia, pertama-tama yang perlu dimulai adalah “memperbaiki” diri sendiri.

Pokok-Pokok yang diperlukan dalam Membangun Komunio:

1.  Menerima diri sendiri
¨   Menerima diri sendiri berarti kita memberi kemuliaan dan hormat yang besar kepada Tuhan. Betapa kerap kita menjadi iri hati dengan sesama dan menjadi buta dengan gambar Allah dalam diri kita. “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej. 2:26) Dan kita sungguh dikenal sedalam-dalamnya oleh Tuhan. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau” (Yer. 1:5) dan kita sungguh berharga dihadapanNya. “Engkau berharga di mataKu, dan mulia, dan Aku ini menghasihi engkau” (Yes. 43:4)
¨   Dengan menerima keunikan diri kita sendiri, maka kita dapat menerima sesama dengan keunikannya masing-masing. Sungguh, dengan berani menerima diri sendiri secara benar menjadikan seseorang merasa damai dan mampu bersyukur atas hidupnya.
¨   Mereka yang mampu menerima dirinya seutuhnya, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, memiliki keyakinan bahwa dirinya berharga dan layak dicintai, dan mampu menerima/ mencintai sesamanya sehingga mereka dapat dengan mudah hidup bersama. Mereka tidak perlu mati-matian membuktikan bahwa mereka layak dicintai dan diterima melalui cara-cara yang sungguh kadang menguras energi, misalnya dengan kerja keras, bersaing dengan tidak sehat, mencari perhatian, suka berdebat, menjadi “penyelemat” bagi yang lain dll.
¨   Banyak orang merasa dirinya tidak berharga dan oleh karenanya juga merasa tidak layak dicintai karena pengalaman masa lalunya. Oleh karena itu perlulah menerima pengalaman masa lalu sebagai bagian dari hidupnya (kalau dibutuhkan mendapat bimbingan yang profesional), pun perlu membangan relasi yang sehat dengan sesama, diri sendiri dan dengan Tuhan.
¨   Tuhan rindu dan memimpikan kita untuk menjadi diri sendiri, seperti adanya, bukan seperti gambaran kita yang keliru.

2.  Komunikasi/ dialog yang sehat
Komunikasi yang paling dasar di antara para suster harus terjadi lebih dahulu dan itu merupakan syarat bagi semua bentuk komunikasi yang lebih mendalam. Komunikasi dasar adalah penting dalam memahami orang lain dan hidup berkomunitas. Beberapa sikap yang dapat membantu dan mendorong terjadinya komunikasi dasar:
¨   Mendengarkan dengan penuh cinta dan perhatian
¨   Menciptakan suasana di mana setiap suster/ anggota merasa diundang untuk sharing secara terbuka dan jujur.
¨   Menjadi sadar akan tanda-tanda atau isyarat dalam komunikasi, baik verbal maupun non verbal, yang tertungkap maupun yang tak tertungkap, termasuk di dalamnya bahasa tubuh.
¨   Mengundang dan membantu para suster untuk berani berbicara secara jelas, rendah hati, sikap penuh persaudaraan, penuh komitmen, mengarah pada hal yang esensial, sehingga sungguh dapat mengerti satu dengan yang lain.
¨   Sebagai suster kita memang satu dengan yang lain berbeda, maka perlu menghormati, menghargai dan menerima anggota komunitas sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri (tidak memaksakan kehendak).

Selain ketrampilan berkomunikasi yang dasar, perlu juga dikembangkan melalui komunikasi iman. Komunikasi iman sangat penting bagi terbangunnya komunitas religius karena para anggota menghidupi spiritualitas dan misi yang sama. Dengan kata lain, untuk mencari spiritualitas dan misi bersama sebagai komunitas dan sebagai kongregasi tidak dapat dilakukan tanpa terjadinya komunikasi iman. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi iman:
¨   Jangan hanya menekankan komunikasi formal dan terorganisir (pertemuan resmi komunitas). Untuk sementara suster/ anggota komunitas, komunikasi informal dengan sesama atau pemimpin komunitas akan lebih bermanfaat untuk dirinya. Misalnya berjalan-jalan bersama, kunjungan ke kamar, dll.
¨   Beberapa suster perlu belajar mendengarkan, sedangkan suster lain perlu belajar bagaimana berbicara.
¨   Usaha-usaha bersama agar perayaan-perayaan di komunitas sungguh bisa menjadi sarana komunikasi iman, seperti saat ulang tahun, sharing karya, sharing konstitusi, sharing KS, dll.
¨   Menggunakan metode ‘bottom up’ dalam melaksanakan program-program di komunitas.

Level berikut dalam berkomunikasi, selain komunikasi dasar dan komunikasi iman adalah kepekaan antar budaya (inter-cultural sensitivity). Kita sadar bahwa, kita berasal dari beragam budaya dan laterbelakang. Untuk itu dalam berkomunikasi kita dituntut mempunyai kepekaan, karena setiap orang mempunyai ‘mind-set’ yang berbeda-beda. Beberapa hal yang bisa ditumbuhkembangkan dalam hal ini:
¨   Kita hendaknya sadar bahwa dalam budaya yang berbeda, nilai-nilai universal mempunyai prioritas dan cara mengungkapkan yang berbeda-beda. Misal cara mengungkapkan rasa puas sesudah makan.
¨   Setiap orang dilingkupi oleh budaya tertentu. Kepribadian kita dan bagaimana kita berkomunikasi diwarnai oleh warisan budaya kita. Maka, kita perlu sadar tentang cara dan kerangka berpikir kita sendiri dan menjadi sadar akan adanya perbedaan serta menghormatinya.
¨   Belajar bahasa setempat dapat menjadi pintu masuk kepada budaya tersebut.
¨   Komunikasi atau dialog antar budaya hanya akan berbuah kalau kita bertemu pada suatu level dimana kita mengalami diri kita sendiri sederajat dengan yang lain.
¨   Komunikasi antar budaya menuntut adanya inter-phaty yaitu keberanian untuk masuk ke dalam pengalaman budaya orang lain, dalam cara berpikir orang lain. Berkembang dalam kepekaan antar budaya berarti suatu kesiapsediaan untuk mengubah tingkah laku sebagai hasil dari kepekaan yang berkembang.

3.   Mewujudkan caring, sharing, bearing, submitting dan serving for one another
Komunio yang sejati juga ditandai dengan saling mengenal/ memperhatikan, saling berbagi, saling menanggung, saling menyerah, dan saling melayani dalam cinta.
¨   Caring – saling mengenal/ memperhatikan yang bermakna mengenal anggota lebih dari sekedar tahu apa yang dikatakan atau dipikirkan. Itu berarti mengenal kelebihan, keterbatasan, dan sehati sepikiran. “Hendaklah kamu sehati sepikiran, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan; dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pijian yang sia-sia” (Filipi 2: 2 - 3)

¨   Sharing – saling berbagai dalam pelbagai bentuk baik itu waktu, talenta, pengalaman, harta milik, tugas dan tanggungjawab. Semua itu dapat diibaratkan dengan proses pembangunan sebuah rumah, diperlukan arsitek, pelaksana, pengawas dll, yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan membantu sehingga rumah yang dirancang dapat dibangun dan dihuni bersama. “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis. 20:35)

¨   Bearing – saling menanggung mengandung makna bahwa anggota yang kadang mengalami kegagalan dan kekhilafan, bukan hanya ditanggung oleh anggota yang bersangkutan, tetapi ditanggung bersama. Juga dengan menawarkan bantuan bersahabat untuk menyemangati dan menguatkan anggota yang sedang berbeban, entah apa pun bentuknya. “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu!” (Gal. 6:2)

¨   Submitting – saling menyerah yang bermakna tidak berusaha mendominasi pembicaraan atau juga memutuskan sesuatu tanpa memperhatikan yang lain. Kadang sikap mengalah dan memberi kesempatan yang lain tampil amat diperlukan dalam hidup bersama. “Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (1 Tes. 5:15)

¨   Serving – saling melayani, dengan kasih tanpa memandang kedudukan anggota melayani satu dengan yang lain. Ini merupakan sumber kebahagiaan bersama. Yesus menekankan hal ini ketika membasuh kaki para muridNya. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya” (Yoh. 13: 16 – 17)



4.  Membangun kesatuan
Kita, para religius dipersatukan dalam komunitas karena adanya kesamaan panggilan dari Allah sendiri. Ungkapan lain, cinta dan kedekatan kita dengan Allah menjadi dasar untuk membangun persahabatan antar anggota, untuk saling mengasihi. Karl Rahner menegaskan bahwa, “Tidak mungkin ada pengalaman Allah kalau tidak melalui pengalaman di dunia ini .... yang menjadi media dari pengalaman Allah ialah pertama-tama relasi manusia dengan sesamanya. Hal itu berarti bahwa hubungan antar pribadi seharusnya suatu hubungan penuh kepercayaan, tanpa syarat, tanpa memihak, penuh kerelaan untuk melibatkan diri dalam hidup sesama, menerima tanggungjawab untuk dia; dengan kata lain: hubungan itu harus hubungan cinta kasih. Hanya berdasarkan hubungan cinta kasih itu, mungkinlah pula untuk menangkap apa yang dimaksud oleh Allah lewat pengalaman”. Dalam konteks ini Rasul Yohanes menegaskan, “Barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1 Yoh 4:20)

Oleh karena itu, berlandaskan kasih satu dengan yang lain, membangun kesatuan dalam komunitas tidak berarti keseragaman. Sebab keseragaman menyebabkan monoton dan menekan kebebasan pribadi. Dari pengalaman, banyak konflik antar anggota, terutama muda dan yang lebih berumur disebabkan adanya kecenderungan penyeragaman dalam komunitas. Kebebasan sejati (yang ada norma dan bisa dipertanggungjawabkan) amat penting bagi kesatuan kasih dalam komunitas.

Dalam konteks persatuan, artikel 51 Vita Consecrata antara lain menegaskan bahwa, “Gereja mempercayakan kepada komunitas-komunitas hidup bakti tugas khusus menyebarkan spritualitas persekutuan, pertama-tama dalam hidup intern mereka, kemudian dalam jemaat gerejawi.... Komunitas-komunitas itu, tempat anggota-anggota dari berbagai usia, bahasa dan kebudayaan saling berjumpa sebagai saudara-saudari, menandakan bahwa dialog itu selalu mungkin, dan bahwa persekutuan dapat memadukan perbedaan-perbedaan menjadi keselarasan”.

Pertanyaan refleksi:
1.  Tantangan apa saja yang suster temukan dalam membangun komunitas sebagai komunio?

2.  Untuk terbangunnya komunitas sebagai komunio, bagi para suster yang sudah berkaul kekal, apa yang diharapkan dari para suster yunior? Bagi para suster yunior, apa harapan-harapannya terhadap para suster yang sudah berkaul kekal?


Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © 2017-2024. Suster OSF Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger | Posting