1. DI DALAM DERAP LANGKAH KESADARAN IDENTITAS GEREJA
Tema
retret kita Komisi IX di Bina Samadi tahun 2017 ini, berasal dari tema Sinode
VI Keuskupan Agung Medan yaitu “Keluarga,
Gereja Kecil”. Melalui tema ini keluarga Katolik disadarkan kembali tentang
identitas, hakekat, jati diri dan
misinya sebagai Gereja Kecil. Sebagai anggota Gereja, kitapun kaum religius
ingin menyadari kembali identitas, hakekat, jati diri dan misi komunitas
religius kita di tengah-tengah arus zaman yang berubah-ubah ini.
Kesadaran akan
identitas, hakekat, jati diri dan misi komunitas religius, sebagai Gereja kecil
terungkap dalam momen istimewa pada perayaan Tahun Hidup Bakti yang
penutupannya dilaksanakan di Lembang Bandung 2-5 Desember 2015, dihadiri
sekitar 300 kaum religius yang merupakan wakil dari 72 tarekat, dengan tema “Bangunkan Dunia, Kobarkan Api Panggilanmu”.
Dalam pernyataan bersama mereka berjanji untuk senantiasa melanjutkan
peziarahan iman yang telah dimulai oleh para pendiri. Berusaha senantiasa
memelihara relasi erat dengan Allah yang telah memanggil, dan akan berusaha
terus sehati sejiwa dalam membangun hidup persaudaraan universal sehingga hidup
persekutuan sebagai religius yang menghidupi ketiga kaul menjadi kesaksian
nyata dan memberi inspirasi pada sesama. Hidup sesuai dengan hakekat panggilan
religius dalam menampilkan wajah Allah yang berbelas kasih, berbelarasa dan
berbagi sukacita di dunia ini dengan mewartakan keselamatan bagi sesama
terutama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan aktif memelihara
seluruh ciptaan dalam kerja sama dengan banyak orang. Siap sedia bagi Gereja
dan membangunkan dunia melalui kesaksian hidup.
2. MENEMUKAN
KEMBALI INTI MAKNA DAN KUALITAS HIDUP RELIGIUS-KOMUNITAS RELIGIUS
Sejarah hidup
religius tidak bisa dipisahkan dari sejarah hidup Gereja yang mencatat bahwa
kekristenan sebagai sebuah persekutuan hidup, yang kita sebut Gereja mulai
terbentuk ketika sekelompok orang dipanggil dan dihimpun oleh Yesus untuk
mewartakan dan mewujudkan kerajaan Allah dengan cinta kasih. Mereka inilah yang
kemudian dipercayakan dan diwariskan tugas perutusan Yesus tersebut membangun
persekutuan cinta kasih dan dalam iman hingga Jemaat Perdana yang hidup sehati
dan sejiwa. Cara hidup persekutuan itu begitu menantang, tetapi sekaligus
begitu menarik banyak orang. Sehingga walaupun mengalami banyak hambatan dan
tantangan, penganiayaan, penderitaan dan bahkan kematian, persekutuan itu
justru semakin kuat dan tersebar luas merasuki berbagai kalangan masyarakat.
Namun kisah
sejarah berubah, setelah bertobatnya kaisar Constantinus menjadi Kristen,
kekristenan menjadi sesuatu yang sangat umum, banyak orang menjadi Kristen
karena tuntutan situasi sosial, tetapi cara hidup mereka tidaklah dilandasi iman
Kristen, makna dan kualitas kehidupan Kristen sangat merosot.
Pada saat-saat
seperti inilah mulai timbul gerakan kesadaran akan kehidupan religius. Banyak
orang Kristen baik secara pribadi maupun secara bersama dilandasi dan didorong
oleh iman asali dan sejati bertekat untuk dengan seluruh hidupnya mencari dan
mengabdi Allah secara radikal. Maka pada abad ke 3 dan 4, banyak orang di
Palestina dan Mesir pergi ke padang gurun, mereka bertapa megikuti seorang
tokoh spiritual, mereka membentuk persekutuan hidup yang berlandaskan pada iman
para rasul. Maka cara hidup dalam persekutun itu merupakan sebuah “tandingan”,
“koreksi”, “kritik”, “kesaksian” terhadap cara dan bentuk hidup kekristenan
“massal” yang ada pada masa itu. Cara hidup ini kemudian mendapatkan bentuknya
dalam sebuah persekutuan di dalam hidup komunitas-komunitas religius.
Inti makna
kualitas kekristenan hanya dapat digali, ditemukan, diwujudkan dan diukur
secara sejati di dalam sebuah persekutuan hidup. Pada kisah hidup pendiri dan
sejarah hidup kongregasi kita dapat menemukan lebih nyata dan radikal lagi inti
makna dan kualitas sejati hidup religius kita
3. INTI POKOK
HIDUP KOMUNITAS RELIGIUS
Inti pokok hidup
religius merupakan ungkapan kesadaran bebas setiap orang mengikatkan dirinya di dalam persekutuan
hidup untuk dengan seluruh hidupnya mencari dan mengabdi Allah.
Tidak ada
kehidupan religius tanpa persekutuan, tanpa persaudaraan, tanpa komunitas dan
tidak ada karya pelayanan cinta kasih tanpa persaudaraan. Makna dan kualitas
hidup religius sangat tergantung pada makna dan kualitas perwujudan
persaudaraan. Persaudaraan adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar
sebab jika hal itu ditawar-tawar, maka dengan sendirinya kehidupan religius
akan melenceng, menyimpang karena gampang ditawar-tawar.
Persudaraan
merupakan wadah yang menjadi sumber darimana kita mendapatkan landasan,
inspirasi dan sekaligus mengekspresikan hidup di dalam dan bagi Tuhan.
Sayangnya seiring
dengan kesibukan karya kerasulan dengan segala tantangan dan peluangnya di
dalam arus perubahan zaman kebersamaan persaudaraan komunitas mendapat corak
dan bentuk yang sangat berubah. Persekutuan hidup, kebersamaan hidup komunitas
sering hanya sekedar menjadi sarana untuk tujuan karya kerasulan. Disadari atau
tidak “telah membelokkan arah kesadaran dasar inti hidup religius”.
4. KOMUNITAS
RELIGIUS: KELUARGA KRISTIANI–GEREJA SETEMPAT.
Komunitas adalah
sebuah persekutuan, sebuah sekolah inti, identitas, hakikat dan misi hidup
religius. Kesejatian sebuah komunitas sangat tergantung pada dinamika kehidupan
religius itu diwujudkan di dalam setiap komunitas. Di dalam komunitaslah
terwujud secara konkrit visi-misi spiritualitas tarekat di tengah-tengah
kenyataan arus zaman yang selalu berubah-ubah.
Komunitas adalah
sekolah, tempat belajar, anggotanya selalu berubah-ubah. Di dalam dan melalui
komunitaslah kita belajar, dibentuk dan membentuk relasi-relasi kehidupan baik
dengan Tuhan maupun dengan sesama. Komunitas hendak tempat dimana kita merasa
paling nyaman saat berhasil dan saat gagal. Dinamika komunitas sangat
menentukan dinamika misi atau tugas perutusan yang diemban. Inti dan corak
hidup komunitas religius adalah iman yang dinamis
5. TANTANGAN DAN
PELUANG YANG SESUNGGUHNYA
Komunitas aktif
selalu bercirikan perubahan, anggota tidak selalu sama dan tetap, selalu
terjadi perpindahan anggota komunitas, hal ini berpengaruh pada dinamika
komunitas dan tidak bisa diabaikan maka komunitas religius harus senatiasa
dibentuk terus menerus seiring dengan perubahan arus zaman. Dengan kondisi demikian
menjadi tuntutan harus selalu bertanya satu sama lain, dari hari ke hari yang
dilandasi oleh kesadaran bebas untuk senantiasa mencari dan mengabdi Tuhan.
Persaudaraan
komunitas religius tidak boleh diandaikan, suatu yang otomatis terjadi dengan
segala aturan dan struktur yang terpola dan terencana. Ungkapan sudah dewasa,
sudah kaul kekal, sudah yunior dan lain sebagainya adalah ungkapan pembiaran.
komunitas harus selalu diolah, dikelola dan dipersoalkan.
Inti pokok hidup
religius merupakan sebuah dinamika, sebuah proses, hidup dan kehidupan yang
harus senantiasa ditimba dan diwujudkan di dalam kenyatan hidup dengan segala
dimensinya yang ada. Ini adalah tantangan hidup religius yang sesungguhnya.
6. MENGEMBALIKAN
TUGAS ESENSIAL
Komunitas
religius tidak boleh diandaikan harus selalu dibentuk maka dinamika kebersamaan
merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan kendati hal ini tidak
selalu mudah. Sedapat mungkin diusahakan kebersamaan dalam doa, makan,
rekreasi, dan kegiatan lainnya yang mendukung persaudaraan.
Komunitas
religius juga akan mampu bertumbuh dan berkembang secara sejati jika selalu
berada di dalam dinamika tradisinya. Sejarah bukan hanya masa lalu tetapi masa
kini dan masa yang akan datang. Tradisi yang dari pendiri dan semangat
masing-masing harus dicari. Relasi pribadi vertikal dan horizontal setiap
pribadi adalah soal hidup dan mati tidak bisa ditawar-tawar.
Hidup religius
baru mulai diwujudkan secara sejati kalau pencarian dan pengabdian kepada Tuhan
di dalam kehidupan bersama komunitas merupakan inspirasi dan ekspresi iman dan panggilan khusus.
7. HIDUP ROHANI PADA TEMPAT PERTAMA
Komunitas
religius adalah persekutuan orang-orang terpanggil yang digerakkan oleh iman
yang sangat dinamis. Maka harus disadari bahwa dinamika kehidupan komunitas
yang berjalan baik, tertata, secara teratur, relasi antar pribadi yang terjalin
baik, keakraban, kerja sama yang efisien dan efektif, keramahan dan spontanitas
yang tinggi belum menjadi jaminan dan bukti nyata kehidupan religius dan persekutuan
komunitas yang sehat, dewasa dan sejati. Kalaupun seluruh dinamika kehidupan
berjalan degan lancar, itu tidak menjadi jaminan pasti bahwa ada semangat dan
gairah iman yang mendalam.
Hidup religius
bercorak dinamis, merupakan gerakan Roh, maka perlu terus menerus memperbaharui
diri dalam kesadaran untuk tumbuh menjadi semakin sempurna. Hidup religius juga
merupakan gerak kreatif Roh Kudus yang menggerakkan para pendiri dalam semangat
Injil melahirkan aneka karisma yang mengagumkan. Pengalaman para pendiri tidak
hanya dijaga sebagai warisan yang amat kaya oleh para anggota religius tetapi
harus juga dialami dan dikembangkan seturut gerakan Roh yang selalu baru dan
kreatif. Maka setiap religius dituntut untuk membiarkan diri dituntun oleh Roh
Kudus agar senantiasa menemukan dan mengabdi Allah secara baru, komunitas
menjadi sekolah spiritualitas Injili yang sejati.
Supaya setiap
religius dapat berkarya di dalam dan demi Tuhan maka setiap religius aktif
harus selalu berdoa. Doa merupakan sumber inspirasi dan ekspresi dari hidup di
dalam dan demi Tuhan. Perutusan dan doa adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Pada kenyataan ini kita bisa mengerti mengapa Yesus selalu berdoa
menjelang dan sesudah melakukan karya-karya perutusan-Nya di hadapan Allah.
8. BERJUANG
MENGHADAPI ARUS ZAMAN, MEMBANGUN KOMUNITAS SEBAGAI GEREJA KECIL
Komunitas
religius adalah sebuah persekutuan yang harus selalu dibentuk di dalam dan
dengan dinamikanya yang beraneka ragam. Justru di dalam dinamikanya yang
demikian, inti, hakikat, identitas dan misi hidup religius dibentuk, diuji dan
diwujudkan sebagai ungkapan kesadaran bebas ssetiap orang mengikatkan dirinya
di dalam persekutuan hidup untuk dengan seluruh hidupnya mencari dan mengabdi
Allah.
Kita sadar bahwa
hidup komunitas religius saat ini “terendam di dalam krisis arus zaman”. Dengan
kondisi demikian apa yang harus kita lakukan.
Paus Fransiskus
melalui perayaan Tahun Hidudp Bakti secara khusus mengajak setiap religius
untuk “Bangunkan dunia”, menempatkan Kristus pada pusat keberadaan kita. Dan
tiga sikap terencana untuk melaksanakan panggilan hidup religius yaitu:
·
Bersukacitalah! Tunjukkanlah kepada setiap orang bahwa
Anda mengikuti Kristus dan melaksanakan Injil-Nya dengan mengisi hati Anda
dengan kebahagiaan.
·
Beranilah! Mereka yang jatuh cinta pada Tuhan tahu
bagaimana mempercayai Dia sepenuhnya, seperti yang dilakukan oleh para pendiri
dengan membuka cara-cara baru melayani Kerajaan Allah. Keluarlah ke jalan-jalan
dunia dan tunjukkanlah hal-hal yang menakjubkan.
·
Jadilah laki-laki dan perempuan persekutuan! Dengan
berakar kuat pada persekutuan pribadi dengan Allah, yang telah Anda pilih sebagai bagian yang
terabaik dari keberadaan Anda, jadilah pembangun persaudaraan yang tak kenal
lelah, terutama laksanakanlah di antara Anda sendiri hukum Injil saling
mengasihi. Kemudian kepada semua orang lebih-lebih mereka yang paling miskin.
Berenang
mengikuti arus kemana sungai mengalir jauh lebih mudah dari pada harus berenang
melawan arus sungai. Berenang mengikuti arus sungai bisa dikerjakan tanpa
tenaga dan kerja keras, tetapi berenang melawan arus sungai dibutuhkan usaha
keras dan perjuangan terus menerus tanpa kenal lelah agar sampai pada tujuan
yang dikehendaki.
Kita sadari bahwa
dunia membuka dan menawarkan seluas mungkin peluang tetapi tidak semua peluang
itu cocok untuk hidup religius, berani berkata tidak, melawan arus pada apa
yang kurang membangun hidupku sebagai religius.
Posting Komentar