Pada tanggal
26-31 Maret 2017, bersama para suster anggota komisi IX, kami (Sr. Elisabeth,
Sr. Antonia, Sr. Yulita, Sr. Beatrix, Sr. Vinsensia) mengikuti retret tahunan
gelombang kedua di Bina Samadi yang pesertanya berjumlah 54 orang, kami
didampingi oleh P. Antonius Moa, Projo Pangkal Pinang, dan beberapa orang
suster kita sudah mengikuti gelombang sebelumnya.
Dalam hari-hari
retret, kepada kami diberikan kesempatan satu kali untuk bersharing dalam
kelompok tarekat masing-masing. Dalam kelompok itu kami semua mengungkapkan
bahwa materi retret itu amat bagus karena sungguh menghantar kami pada
kesadaran identitas, hakekat, jati diri dan misi kami sebagai suster yang
dengan ungkapan kesadaran bebas mengikatkan diri di dalam persaudaraan kita
untuk dengan seluruh hidup mencari dan mengabdi Allah. Dalam sharing
itu juga kami mengungkapkan rasa kagum kepada para pendiri kita yang sungguh
terbuka, berani dengan iman yang tangguh menanggapi perubahan zaman yang
mengakibatkan banyak penderitaan dalam masyarakat. Dalam situasi demikian para
pendiri kita mengambil keputusan untuk MENGABDI ALLAH DALAM DIRI SESAMA YANG
MENDERITA.
Suatu keunikan
bahwa persaudaraan kita diawali oleh lima orang gadis sederhana dan tak
terpelajar, panggilan dan iman pribadi mereka masing-masing menjadi panggilan
dan iman persaudaraan, dari awal terbentuk suatu persaudaraan yang dinamis,
tidak cepat puas, “Bila mana kepada mereka diberikan jari, terus mereka minta
tangan dan lengan” (kronik). Keunikan ini sebagai warisan yang amat berharga
yang hendaknya dialami serta dikembangkan seturut gerakan Roh yang selalu baru
dan kreatif.
Untuk
membangunkan dunia kita tidak bisa sendiri-sendiri, keanekaragaman persaudaraan
hendak menjadi kekayaan kita bersama. Dalam keberhasilan dan kegagalan
komunitas hendaknya dialami menjadi tempat yang paling aman bagi kita. Dikala
kita merasa diri lebih hebat dari yang lain dalam hidup dan karya hendak kita
sadar dan ingat bagaimana pada awalnya karena digerakkan oleh Roh Allah kita
datang secara bebas mengikatkan diri pada persaudaraan dan dalam persaudaraan
kita dibentuk, dibekali, maka entah kita berkarya di full AC, full matahari
atau full asap (dapur), hendaknya kita hayati sebagai ungkapan pengabdian kita
kepada Allah yang memanggil kita dalam
persaudaraan kita.
Di bawah ini saya
tuliskan ringkasan materi retret tersebut, kendati kita masing-masing
merenungkan tema yang sama sebagai anggota Komisi IX. Semoga dapat menambah
pemahaman kita atas tema tersebut dan membantu kita untuk menghayati panggilan
persaudaraan kita sebagai Gereja Kecil di tengah arus zaman yang berubah-ubah
ini.
Salam dan terima
kasih
Sr. Vinsensia
Simanullang
Posting Komentar