“Sesekali kita perlu berangkat jauh,
agar bisa
merasakan kerinduan ke tempat darimana kita berangkat”

Kalimat di atas
diungkapkan oleh seorang imigran dari Cabo Verde ke Brazil yang saya wawancarai
waktu menyusun skripsi, dan ini mengawali sharing tentang pengalaman hidup
bertahun-tahun di Brazil sebagai misionaris utusan dari OSF Regio Sibolga,
kalimat ini sungguh mendalam maknanya. Tahun 2010 aku tiba di tanah Terra Cruz
yang penuh dengan pepohonan brasilis; nama pohon yang merupakan awal pemberian
nama Brazil. Sejak menginjakkan kaki keluar dari pesawat di bandara Machado da
Cunha di kota São Luís negara bagian Maranhão, aku merasakan suasana yang
terasa asing, apalagi waktu disambut oleh para suster yang terdiri dari
berbagai etnik. “Pasti semuanya pasti akan menarik, mengundang naluri adventure dan menghidupkan adrenalina”
pikirku waktu itu. Di sepanjang jalan dari São Luís menuju Arari yang kira-kira
2,5 jam, aku sibuk memandangi keluar jendela mobil, berharap melihat fantasiku
sebelumnya tentang Brazil yang adalah hutan belantara dan penuh dengan orang Indian
berkulit merah berseliweran kesana-sini, dan ternyata tidak ada hutan sama
sekali! Yang ada hanyalah hamparan
steppa yang datar dan tak berujung yang diselang selingi pohon babaçu (mirip
dengan pohon kelapa), sehingga kesannya waktu itu kami sedang menyusuri pantai.
Begitu juga ketika sampai di kota (Cidade)
Arari, pemandangan yang sama, hanya sedikit berbeda karena disana ada sungai
(rio) Mearim yang besar mengalir lambat dan dekat dengan susteran. Sepuluh hari di Arari, aku berangkat ke kota
Brasilia (ibu kota Brazil) untuk ikut kursus bahasa Portugis bersama dengan 24
missionaris yang berasal dari 19 negara dari 4 benua. Yang dari Asia ada yang
dari Korea selatan, Filipina dan India, sedangkan selebihnya berasal dari benua
Afrika, Eropa dan Amerika yang berbahasa Inggris dan Spanyol. Kami ada 5
perempuan dan sayalah satu satunya yang paling muda dari semua peserta. Setelah
3 bulan kursus dengan intensif dan mulai lancar berbicara dalam bahasa
portugis, aku kembali ke Maranhão dan berkomunitas di casa Santa Isabel di kota
Alto Alegre, sekitar 1,5 jam dengan bus dari Arari. Disana aku memulai hidup
karya di pastoral dan Projeto Nova Esperança (proyek sosial kongregasi)
sekaligus menyempurnakan bahasa portugis dalam praktek hidup sehari-hari.
Tahun 2011, aku ikut lagi kursus penyempurnaan
bahasa Portugis di kota dan tempat yang sama dan di awal tahun 2012, permohonan
berkaul diterima dan aku ikut persiapan kaul kekal yang singkat di negara
bagian Santa Catarina di dessa Laurentino di kota Rio do Sul. Sesuai dengan
permintaan yang saya ajukan ke Pimpinan Umum di Jerman dan disetujui pimpinan Régio
di Indonesia, saya berkaul kekal di Indonesia pada bulan Mei di tahun yang
sama. Kembali dari cuti, dalam pertemuan bersama (assembléia) aku mengajukan
diri untuk studi, karena itu juga bagian dari kesepakatan dari pimpinan ketika
akan diutus ke Brazil. Reaksi awal para saudari adalah sikap pesimis mengingat
kemampuan berbahasa yang mungkin belum cukup untuk duduk di bangku kuliah, dan
beberapa dari saudari mengungkapkan itu terang-terangan, namun tekadku dan
mengatakan bahwa jika aku sungguh tak mampu, biarlah “kekalahan” itu dari
pihakku dan bukan karena kongregasi tidak memberiku kesempatan. Kata-kata ini
dimengerti oleh para saudari dan aku diijinkan mendaftar ke Universitas Ceuma
di São Luis, mengambil jurusan psikologi yang untuk strata 1 adalah 5 tahun.
Sebelumnya teman sekomunitas Sr. Agnes sudah mensinyalisasi akan keinginannnya
untuk kembali ke Indonesia, dan saat itu aku memintanya untuk mendukungku
memulai studi, agar ketika dia dan kemudian Sr. Anastasia pergi, aku sudah bisa
lebih terbiasa hidup sendiri.
Ketika lulus testing masuk universitas, aku
pindah ke komunitas Boa Beta di São Luis dan tinggal bersama dengan Sr. Maria
Inês dan Sr. Míria, tiga orang dari tiga negara dan benua yang berbeda!
Bulan-bulan awal studi dan tinggal di komunitas yang baru benar-benar suatu
ujian yang paling berat untukku. Karena berbagai alasan waktu itu kedua suster
itu sudah kompak dan aku tersisihkan, demikian kadang kesepian melanda dan
bahkan tak jarang membuatku desolasi (tak ada sesuatu yang paling menyiksa
ketika seseorang merasa asing di tempat dimana dia harus berada). Namun tekadku
untuk studi demikian kuat dan secara pribadi aku mencoba mengorganisir semua
rencana studi, langkah pertama adalah menjalani semester per semester yang
bagaikan 10 undakan tangga yang mesti saya naiki langkah demi langkah.
Sebenarnya kalau mau jujur, keputusan ini lebih
bersifat nekat daripada berani, tapi prinsipku waku itu adalah aku harus coba
sampai dimana batas kemampuanku, dan itu diiringi dengan usaha dam kerja keras,
karena aku yakin, keberhasilan itu akan terasa lebih nikmat kalau seseorang
memberikan dirinya seratus persen untuk itu dan juga karena memang aku tidak
mau menyesal di kemudian hari, karena kurang berusaha. Aku yakin, jika kita
berusaha, Tuhan juga pasti menolong, akan lebih mudah bagi-Nya menolong
seseorang yang berusaha daripada seseorang yang hanya duduk berpangku tangan
menunggu mukjijat.
Itu bukan berarti tak ada rasa takut, jujur
saja, rasa itu sangat kuat, tapi aku juga tahu bahwa ketakutan itu menghalangi
kita menikmati ¾ persen keindahan hidup itu sendiri, dan aku tak mau
kalah/menyerah karena takut. Lebih baik kotor, babak belur karena mencoba
daripada putih bersih tapi penuh dengan penyesalan karena tak pernah
mengeksplorasi batas-batas kemampuanku. Dan ternyata kerja keras ini menuai
hasil, bahkan di akhir semester pertama, aku sudah masuk urutan ketiga Top Five
(lima orang yang terbaik), suatu pencapaian yang sungguh berarti yang membuatku
bisa tersenyum kepada diri sendiri, dan dengan ini juga menjadi stimulus
menjalani ke sembilan semester yang masih tersisa, dan dengan sendirinya juga
para saudari juga mulai menyemangatiku untuk membuat yang terbaik. Begitu
seterusnya sampai akhirnya pada tanggal 12 Juli 2017, aku wisuda dan
mendapatkan nilai yang baik. Semua hasil yang manis ini aku dapatkan dari hasil
kerja keras dan semangat juang yang tinggi, dibarengi oleh dukungan para
saudari yang tiada henti. Karena sebenarnya hidup sebagai missionaris itu tak selalu
indah seperti sebuah kisah romantis, tidak! Dalam kenyataannya kehidupan
seperti ini sangat menantang, menuntut harga yang mahal yang harus dibayarkan
berupa kerja keras, pantang menyerah, daya juang yang tinggi untuk akhirnya
bisa menikmati hidup sebagai missionaris. Kalau mengingat tahun-tahun awal
kuliah, bagaimana aku selalu menenteng kamus besar ke kampus karena banyak dari
kata-kata dosen yang tak bisa aku tangkap artinya, atau karena cepatnya ia
berbicara sehingga membuatku kalang kabut, atau ketika aku sesekali harus
membawa alat perekam yang aku gunakan untuk merekam kata-kata dosen karena
sebagian suara mereka lebih mirip desisan daripada suara manusia.
Pergaulan di kampus juga menjadi kenangan
tersendiri, karena tempat aku kuliah merupakan suatu universitas dan kampus
yang elit dan biasanya yang studi di sana adalah mahasiswa/i dengan latar
belakang keluarga dari kelas menengah ke atas dan sama sekali tak ada kaitannya
dengan aktifitas keagamaan. Dan juga pergaulan bebas yang menjadi ciri khas
budaya Brasil, di sana cinta itu identik dengan seks, seks adalah bukti dari
cinta itu sendiri untuk mereka baik dengan sesama jenis/homoseks (di Brasil hal
ini adalah sesuatu yang normal) maupun
dengan lawan jenis/heteroseks. Tak sedikit yang mendekati dan mengungkapkan
perasaan suka, tapi ada juga beberapa yang memandang sebelah mata dan
menganggap pilihan hidup sebagai selibat dan anggota hidup bakti merupakan
suatu kegilaan. Dalam situasi seperti ini, aku teguh mangafirmasikan eksistensi
diriku dan cara hidup yang kupilih karena pada dasarnya, setiap orang berhak
menjadi dirinya sendiri dan melakukan apa yang perlu untuk hidupnya. Dalam
konteks dunia kampus, aku memang selektif memilih teman dan dengan siapa saya
berelasi.
Tahun 2013 adalah tahun yang penuh arti dalam
benakku, itu terjadi karena pada tahun itu, kedua saudari Sr. Agnes dan Sr.
Anastasia memutuskan untuk kembali ke Indonesia, artinya aku tinggal sendiri
sebagai missionaris dari Indonesia. Sungguh suatu pergulatan yang menakutkan waktu
itu membayangkan bahwa akan tinggal sendiri di Brazil dan sedang studi pula!
Namun di sisi lain aku sadar bahwa kedua saudari punya proyek untuk hidup
panggilan mereka masing-masing, memang beberapa minggu setelah mereka
berangkat, aku dilanda suatu desolasi yang mengerikan, perasaan gamang dan
kesepian. Tiap malam selama hampir 3 bulan tak bisa tidur (insomnia), di malam
hari ketika tidak bisa memejamkan mata, aku pergi ke kapel dan hanya untuk
bengong di sana sehingga seringkali para saudari lain menemukanku di kapel pada
dini hari.
Desolasi ini juga memicu perasaan sensitif yang
negatif, dimana aku mulai gampang menangis dan iri dengan kekompakan dua
saudari sekomunitas, saking sensitifnya, kadang tawa mereka kuanggap sedang
menertawakan penderitaanku, aku menjadi sering menangis karena kasihan terhadap
diri sendiri. Perasaan lain yang muncul adalah rasa muak melihat para saudari,
malas bertemu dengan mereka dan gampang marah ketika ditanya ini-itu. Jauh di
dalam hati kecil, aku tahu bahwa ada sesuatu yang salah dengan diriku, itu
bukan diriku, tapi juga aku tidak tahu bagaimana caranya lepas dari kegelapan
itu.
Akhirnya aku minta ijin untuk berlibur ke kota
lain dengan alasan di atas, karena untukku penting sekali menyingkir dari
rutinitas untuk bisa kembali berpikir secara objektif, dan syukur juga hal itu
cepat ditanggapi, maka aku berangkat ke paroki seorang teman imam, di sana aku
tinggal di sebuah rumah retret dan mengambil retret pribadi selama 10 hari,
sesekali aku datang ke imam setempat, seorang pastor asal Jerman yang sudah
hidup 50 tahun sebagai missionaris di Brazil, untuk bersharing dan mengolah
semua peristiwa yang terjadi dalam hidup dan aku memang tak ingin ada kontak
dengan dunia luar selain dengan dengan pastor itu. Aku sengaja tinggal dalam
kesepian dan berusaha untuk mencintai rasa sepi, itu satu-satunya jalan karena
memang aku sudah cukup menderita karena situasi dan perasaan itu, maka cara
yang lebih baik mengatasinya adalah bersahabat dengan musuh besar itu. Selama
10 hari yang sangat penting dalam hidupku dan sungguh memang ketika aku sangat
kesepian, ditinggalkan dan sendirian, bukan hanya secara psikis tapi juga
secara fisik, aku mulai mengerti arti sepi dan mencintai rasa itu sebagai
bagian dari hidup dan sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan. Keputusan
penting lain yang kuambil waktu itu adalah berhenti mengasihani diri sendiri,
menjadi playing victim karena memang
aku bukanlah korban siapapun kecuali diriku sendiri, dan mulai mengangkat
kepala dari semua perasaan-perasaan melankolis yang membuatku sakit dan menyita
lebih dari setengah energi hidup.
Sisa libur itu aku habiskan untuk bersharing
dengan temanku tentang pengalaman hidup sebagai missionaris yang akan selalu
menjadi orang asing di negeri asing. Sharing itu sungguh memperkaya dan memompa
semangatku untuk memulai kembali, dan memang aku kembali ke komunitas dengan
perspektif yang berbeda, lebih rileks dan gembira. Situasi komunitas tidak
berbeda, tetapi perlahan aku bisa menempatkan diri diantara saudari dan memutuskan
menghilangkan rasa rendah diri. Aku memutuskan untuk memperlakukan diriku
sendiri sebagai seseorang yang sama derajatnya, sama posisi, sama berharganya
dengan semua orang dan menolak untuk diperlakukan rendah apalagi karena dasar
rasisme. Adalah umum di mata orang Brasil (hampir mirip dengan kita di
Indonesia) bahwa semua yang berasal dari Eropa itu, apalagi jika itu manusia
berkulit putih dan bermata biru, seolah-olah kemanusiawiannya lebih “berharga”,
lebih cantik, lebih di “gandrungi” dari kita yang berkulit coklat, ini adalah
rasisme yang mendasar bagi orang-orang dari negara berkembang yang bermental
feudal. Tak aneh juga, di Brazil ada semacam kesenjangan antara perlakuan
dengan missionaris yang dari Indonesia dan yang dari Jerman atau Eropa, yang
terakhir ini dianggap lebih “berduit” daripada missionaris yang dari Indonesia
(dan kita tahu bahwa duit itu sangat kuat kaitannya dengan kekuasaan) prinsip
itu juga ada di kalangan orang-orang di sekitar kita di sana pada waktu itu,
sehingga kita memang perlu berjuang untuk menunjukkan eksistensi diri sebagai
seorang pribadi yang memiliki kekhasan juga. Dan hal itulah yang aku
perjuangkan, aku menolak menganggap diri lebih rendah dari siapapun (kalau nada
suara mereka mulai tinggi, aku menjawab lebih tinggi lagi, apalagi kalau
mengatakan sesuatu yang benar). Hal ini sebenarnya berkaitan dengan masalah
identitas diri sendiri, masalah image,
jika ingin di hargai, hal yang pertama yang kita lakukan adalah menghargai diri
sendiri dan bukan malah sebaliknya.
Dalam tahun-tahun yang kulalui ini, aku sungguh
menikmati hidupku sebagai missionaris, bagian yang terberat seperti adaptasi
sudah dilalui, pertukaran budaya, pengalaman, belajar bahasa dan lain
sebagainya sungguh membuka mata hatiku pada keunikan kultur itu sendiri dan
kalau dari segi rohaninya, betapa kuat penyertaan Tuhan itu dalam hidupku, saat
ini aku enjoy dengan hidup sebagai
perantau dan pengembara jauh sampai ke negeri Samba. Kesulitan akan selalu ada
dan itu pasti, tapi aku yakin bisa menegakkan langkah untuk menjalaninya.
Pengalaman ini bagiku sendiri sungguh sangat kaya, dan sebenarnya aku tidak
ingin menikmatinya sendiri, itulah yang menjadi alasan untuk sering mengundang
saudari yang lain untuk datang bermisi entah ke Jerman atau ke Brazil.
Pertukaran
budaya itu sangat penting, membuka wawasan kita untuk mengenal kultur lain dan
mempelajari berbagai hal yang baru; bahasa, kultur budaya lain, gastronomi,
menimba ilmu dan pengalaman hidup yang lebih bervariasi dan dinamis. Pengalaman
misi itu ibaratnya kita bepergian ke kota lain mengunjungi kenalan atau sahabat
dan di sana melihat berbagai hal yang belum pernah dilihat sebelumnya dan
mempelajari berbagai resep makanan untuk ketika kembali ke tempatnya, resep
baru itu bisa dicoba atau dibagikan ke tetangga, rasa makanan itu pasti akan
terasa berbeda di lidah ketika mencoba resep baru, mungkin ada bahan-bahan
tertentu yang ditambahkan atau perlu dikurangi, tapi rasanya pasti lebih nikmat
dan unik untuk dinikmati. Begitu juga hidup di negeri yang jauh, ada berbagai
resep kehidupan yang perlu di pelajari, untuk menjadikan hidup itu sendiri
menjadi lebih nikmat untuk dihidupi. Dan sekali lagi, kita tidak bisa berhenti
pada rasa takut yang menghantui kita, di luar sana, ada dunia luas yang
menunggu dan menantang kita untuk mengenalnya. Dan terutama, dunia luas ini
akhirnya selalu membuatku rindu untuk kembali ke tempat darimana aku berangkat.
Sr.
Victrisia Sinaga, OSF
Posting Komentar