Suster OSF Sibolga

Sharing Sr. Victrisia Sinaga bermisi di Brazil bagian 2



“Só sei que nada sei (yang aku tahu adalah bahwa aku tak tahu apa-apa)”
(Socrates)

Akhir bulan april tahun ini, aku menerima tawaran kerja sebagai psikolog di sebuah institusi pemerintah. Nama institusi ini adalah Centro de Referência de Assistencia Social (CRAS), sebuah institusi pemerintah yang fungsi utamanya adalah memberi asistensi/support kepada masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Setiap prefektur (setara dengan Kecamatan) di negara Brasil itu memiliki CRAS, dan aku bekerja di kota tetangga yang bernama Matoes do Norte, jaraknya kira kira 40 km, karena di kota Arari, dimana ada komunitas kita, sudah tidak ada lowongan pekerjaan untuk tahun ini. Cukup jauh memang dari segi jarak, dan memakan waktu sekitar 40 menit naik bus umum untuk sampai kesana. Akses untuk bus/minibus cukup lancar, biasanya aku diantar oleh Sr. Petra sampai ke terminal bus di Arari, dan dari sana, aku ambil bus atau minibus umum menuju kota Matoes do Norte. Aku bekerja dari senin sampai rabu full time, masuk jam 08.00 sampai jam 12.00, di sore hari mulai jam 14.00 sampai jam 18.00.
Awalnya, pekerjaan ini cukup sulit dan membutuhkan refleksi dan discerniment tersendiri, karena di samping pekerjaan resmi untuk memberi assistensi/support psikis bagi masyarakat yang datang ke CRAS, aku juga harus masuk ke dalam sistem institusi yang dari segi organisasi, tidak selalu memuaskan. Praktisnya, aku adalah karyawan dan harus taat dengan sistem yang ada.
Pelajaran pertama yang aku pelajari dalam pekerjaan adalah aku harus bisa berkolaborasi dengan semua anggota tim yang memiliki watak dan perilaku yang berbeda beda. Ada perbedaan nyata yang kurasakan antara berkolaborasi dengan sesama suster dalam konteks hidup religius, dibandingkan dengan bekerja dengan orang awam. Tantangannya cukup nyata, bekerja dengan awam membuatku mengerti bahwa segalanya harus dilakukan dengan lebih hati hati, harus netral dan belajar untuk diam dalam situasi situasi tertentu. Misalnya, dalam menghadapi sifat kompetitif dari anggota tim yang beberapa diantaranya punya obsesi tertentu, untuk mengejar target supaya dapat bonus atau cepat naik pangkat. Singkatnya, ada beberapa orang berlomba untuk lebih dari yang lain.
Sifat kompetitif ini tak jarang memecah belah tim, dan menjadi tugas psikolog untuk membuat intervensi dalam situasi situasi sulit seperti ini. Jadi tak jarang pekerjaan psikolog di bagian ini dijuluki sebagai “pemadam api/kebakaran”. Berusaha menjaga keseimbangan tim dengan berbagai kegiatan dan refleksi bersama. Tentu juga hal ini kontras dengan pekerjaan pastoral/keagamaan, bahkan boleh kukatakan cukup jauh berbeda. Untuk berdiri teguh diantara riak-riak gelombang, tidaklah mudah, dua bulan pertama bekerja, aku benar benar stress dan pusing, disamping pengalaman yang minim, juga shock dengan realitas, bahwa pekerjaan nyata sebagai psikolog, sungguh berbeda dengan apa yang kupelajari selama 5 tahun di bangku kuliah. Masalah psikologis dan sosial yang kutangani sehari-hari sangat kompleks dan jauh “lebih parah” dari studi kasus yang biasa menjadi bahan diskusi dan perdebatan di bangku kuliah. Masalah yang kutangani, yang kudengar dari para klien yang datang jauh lebih realistis.
 Di hari Senin dan Rabu, biasanya adalah hari dimana aku menerima klien di kantor, sedangkan hari selasa adalah hari dimana aku dan tim, berkunjung ke rumah klien yang tidak bisa datang ke kantor, baik karena alasan kesehatan, maupun karena parahnya situasi yang sedang mereka hadapi. Selain itu, kami dari tim dari institusi ini, juga memberi penyuluhan dan seminar-seminar ke sekolah-sekolah negeri tentang beberapa tema yang relevan, misalnya tema penyuluhan bulan ini (September) adalah “Setembro Amarelo = September kuning”, berkaitan dengan tema fenomena bunuh diri/suicide. Untuk bulan depan (Oktober) adalah tema “Outubro Rosa” akan dibahas tema yang berkaitan dengan intervensi psikososial dan penyuluhan  seputar Kanker Payudara. Singkatnya, setiap bulan selalu ada tema tertentu yang menjadi topik diskusi dan penyuluhan.
Kebanyakan klien yang aku layani di kantor datang dengan latar belakang konflik keluarga seperti: proses perceraian orang tua yang terimbas kepada anak, maupun kepada pasangan yang sedang bercerai; konflik antara suami-istri karena perselingkuhan; alienasi parental; konflik antara anak dengan orangtua dan sebaliknya; bullying antara remaja; kasus-kasus pelecehan/kekerasan seksual yang berupa pedofilia; kekerasan seksual baik orang dewasa; eskizofren; psikopatologi dan bagian-bagian parafilia;  automutilasi (cutting: dimana para remaja melukai tubuhnya sendiri dengan alat alat tajam) antara para remaja, selain itu, aku juga melakukan pendampingan terhadap ibu-ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan (depresi pós-parto) atau baby blue dalam istilah populernya.
Ada beberapa pengalaman yang cukup membekas di benakku, satu diantaranya adalah ketika aku mendampingi seorang ibu yang berinisial D, yang adalah seorang pengidap skizofren (penyakit kejiwaan) dan memiliki trauma yang begitu mendalam. Ibu D mempunyai 4 saudara, yang mana, 3 diantaranya juga memiliki skizofren, kelainan ini mereka warisi dari bapak mereka. Ibu D punya 2 putri yang merupakan hasil pemerkosaan yang dialaminya ketika berusia 13 dan 16 tahun. Dalam situasi penyakitnya, ada yang tega melakukan pemerkosaan terhadapnya, ketika masih remaja, dan tak satupun dari ayah putrinya ini memberinya support, atau mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Satu diantara kedua putrinya juga mengidap skizofren. Ketika pertama kali aku mengunjungi keluarga ini, aku hampir menangis ketika mendengar dan melihat situasi keluarga ini. Hampir seluruh anggota keluarga tergantung kepada obat obatan yang diberikan psikiater kepada mereka.  Satu satunya yang mengurus mereka adalah ibu C, yang adalah ibu kandung dari ibu D, dan beliau sudah berumur 75 tahun, harus mengurus 4 anak dan 1 cucu pengidap skizofren.
Perlu diketahui bahwa di Brazil, tak diijinkan lagi pengadaan Rumah Sakit Jiwa. Sistem kesehatan di Brazil lebih bersifat desentralisasi, dimana setiap Kecamatan harus menjamin kesehatan para penduduknya. Baik kesehatan fisik maupun mental dan semuanya gratis, selama ada kartu kesehatan yang bernama SUS. Patut diketahui juga  bahwa secara teori, sistem ini sungguh bagus, tapi yang menjadi masalah adalah pelaksanaanya dalam praktik sehar-hari. Berhubung fiskalisasi dari pihak pusat yang cukup minim, membuat sistem ini nyaris tak berfungsi dalam hidup sehari hari. Setiap hari kita disuguhi oleh kasus korupsi dan nepotisme diantara otoritas yang seharusnya menjadi pengayom dan penjamin kesejahteraan semua penduduk, kini hanya menjamin kesehatan dan kemudahan akses untuk keluarga dan kenalannya.
Kembali ke kisah ibu D, ketika awal pendampingan, dia sangat antusias mendengarkan apa yang aku katakan, kadang ketika aku muncul di depan rumahnya, dia memperlakukanku seperti selebritis, minta tanda tangan dan harus berfoto (selfie) dengannya. Tapi beberapa bulan belakangan ini, dia yang merasa menjadi selebritis dan selalu memberi tanda tangannya kepadaku, dan tak jarang dia malah mengira, dia yang psikolog dan aku kliennya. Awalnya aku takut terhadapnya karena kadang kadang dia melukai orang lain dan dirinya sendiri, misalnya ketika dia berhalusinasi, sering dia melukai orang yang dekat dengannya, mengejar orang orang yang lewat di depan rumahnya sambil membawa parang atau potongan kaca. Apalagi kalau dia diejek oleh orang lain, dia menjadi sangat agressif dan impulsive. Pernah sekali waktu dia melukai pahanya sendiri dengan pisau karena tak bisa melampiaskan kemarahannya dengan orang yang mengejeknya, di lain waktu, dia menonjok hidungnya sendiri sampai dia pingsan dan berdarah-darah, karena katanya dadanya sangat sesak dan hatinya sangat sakit mendengar hinaan orang lain.
Sekali waktu juga, tim kami dipanggil kerumahnya, karena dia menolak masuk ke rumah dan selama beberapa jam dia berguling guling di tengah jalan, di atas aspal, dibawah panasnya terik matahari. Dan ketika tiba disana, aku mengambil payung dan duduk didekatnya untuk mendengarkan apa yang hendak dia sampaikan. Tak lama kemudian dia bangkit, memegang tanganku dan mengajakku ke rumahnya. Kemudian dia mengatakan bahwa dia senang denganku karena aku tak menghakiminya dan aku memperlakukannya seperti manusia. Peristiwa ini mengingatkanku dengan kata-kata seorang dosen, yang mengatakan bahwa pada hakikatnya, semua manusia, bahkan semua mahluk, terlepas dari suku, bahasa dan agama, semua mengenal bahasa afeksi, bahasa cinta kasih, yang adalah bahasa eksistensial semua mahluk. Ibu D, dalam ke “gila”annya, juga bisa merasakan afeksi, juga berhak mendapat perlakuan salayaknya manusia, terlepas dari segala keterbatasaanya.
Kasus menantang lain yang aku hadapi adalah ketika berhadapan dengan seorang anak berumur 10 tahun, yang pada suatu hari disuruh ibunya untuk membeli sebotol coca cola ke warung, ibunya berpesan supaya dia tak langsung pulang kerumah, dia boleh bermain dengan kawan-kawannya. Setengah jam kemudian dia kembali dengan sebotol coca cola, dan mendapatkan ibunya menggantung diri di dapur, si anak berusaha memegang kaki si ibu yang waktu itu belum meninggal dan kedua kakinya masih bergerak gerak. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ibunya meninggal di pelukannya. Si anak mengalami trauma begitu mendalam dan membuatnya tak bisa makan dan tidur selama berminggu-minggu.
Ketika berbicara denganku, dia menyalahkan dirinya sendiri, yang tak taat pada ibunya, yang tak bisa menjaga ibunya, dan terlambat pulang kerumah untuk menolong si ibu, “ini semua salahku, aku bukan anak yang baik, ibuku yang malang tak seharusnya memiliki anak yang bodoh sepertiku ” katanya selalu. Beberapa waktu kemudian dia tidak mau datang lagi ke kantorku karena dia mulai menolak untuk ditolong, menolak bicara, dia sedang benar-benar depresi.  Ketika akhirnya aku dan tim datang mengunjunginya, dia mulai bangkit dari keterpurukan jiwanya, dan mulai berbicara. Hanya saja dia memintaku untuk tak menyinggung kata “ibu” dalam setiap pembicaraan kami.
Begitulah setiap kasus memiliki realitas dan kesulitan tersendiri, berhadapan dengan semua ini, aku menyadari bahwa apa yang kuketahui selama ini, apa yang kupelajari di bangku kuliah, sangatlah minim dibanding pengalaman praktik sehari-hari. Seringkali aku bahkan tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk mengurangi beban psikis klien yang datang. Juga besarnya permintaan untuk konsultasi, menunjukkan bahwa kebutuhan kesehatan dan keseimbangan mental juga hal yang essensial sebagaimana kebutuhan akan kesehatan fisik. “Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat”, kalimat ini mewakili apa yang bisa kusimpulkan dalam diri manusia.
Dulu ada persepsi, bahwa konsultasi dengan psikolog menunjukkan bahwa seseorang itu sudah “miring, gila, bermasalah”, tapi kalau benar benar di sadari, siapa sebenarnya yang terlalu “sehat”, terlalu seimbang sehingga tak pernah sakit, oleng sana-sini, dan membutuhkan pertolongan dari orang lain? Dengan teman teman seprofesi, kami biasa mengatakan begini: “silahkan gila, meski sedikit tak mengapa, karena orang yang terlalu “normal” itu adalah orang yang sangat menyebalkan”.
Dalam pertemuan dan pembicaraan dengan para klien, aku mengerti bahwa aku harus lebih banyak lagi membekali diri, baik dari segi studi, maupun dari segi pengalaman, karena seperti kata kata Socrates yang kukutip diatas, ketika aku pikir bahwa aku sudah tau banyak hal, aku menemukan bahwa aku belum tahu apa apa.  Bekerja sebagai psikolog memberi warna tersendiri, bukan soal status, tapi terlebih pada pengertian betapa kompleksnya kehidupan manusia. Dan dengan sendirinya, mengerti pada dasarnya manusia itu memiliki kerapuhan, tapi juga memiliki kemampuan untuk bangkit dari kerapuhannya. Selalu ada kemungkinan, selalu ada jalan untuk semua masalah yang ada.
Problem dan kesedihan adalah bagian yang essencial dalam hidup manusia. Seperti apa yang dikatakan Viktor Frankl, ada tiga hal yang memberikan arti dalam hidup manusia yaitu, Cinta, Kesulitan (kesedihan) dan Pekerjaan. Cinta membuat seseorang bisa merasakan dan berbagi afeksi; Kesulitan membuat orang mencari jalan keluar dan Pekerjaan membuat seseorang merasa berguna. Sebaliknya, kekurangan dalam tiga aspek ini, membuat manusia mengalami ketidak seimbangan dalam fisik dan psikisnya.
Demikianlah sharing singkat dari saya, semoga bisa memperkaya pengalaman kita semua, dan kita tetap saling mendoakan. Salam dan doaku untuk semua.


Arari, 07 September 2018
Sr. Viktrisia OSF
Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © 2017-2024. Suster OSF Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger | Posting